NARASINETWORK.COM - Madiun, Dalam rangka menyambut Tahun Baru Imlek 2576 yang jatuh pada tanggak 29 Januari 2025, komunitas Gusdurian Madiun mengadakan acara Silaturahmi dan Room Tour di Klenteng TITD Hwie Ing Kiong, Kota Madiun, Minggu (19/01/2025). Acara yang diinisiasi oleh Haris Saputro, Koordinator Gusdurian Madiun, dimaksudkan sebagai wujud nyata Gusdurian Madiun terhadap nilai-nilai toleransi dan saling menghormati di tengah keberagaman kepercayaan.
Gusdurian, komunitas yang meneruskan warisan pluralisme Gus Dur, menekankan keberagaman agama dan kepercayaan sebagai kekuatan untuk saling mengenal, menghargai perbedaan, dan menjaga perdamaian. Haris Saputro menjelaskan, “Kegiatan ini merupakan wujud nyata cita-cita Gus Dur untuk Indonesia yang harmonis. Klenteng ini menjadi simbol persatuan dalam keberagaman, tempat belajar menghormati budaya, sejarah, dan keyakinan tanpa kehilangan identitas masing-masing.”
Acara dimulai dengan tur keliling Klenteng TITD Hwie Ing Kiong, yang oleh penjaga klenteng disebut sebagai “milik masyarakat Madiun.” Klenteng ini, yang menyatukan ajaran Buddha, Konghucu, dan Tao, merupakan pusat warisan budaya Tionghoa di Madiun dan terbuka untuk semua kalangan tanpa memandang agama atau latar belakang. Selain sebagai tempat ibadah, klenteng ini juga berfungsi sebagai destinasi budaya, memperkenalkan tradisi dan leluhur Tionghoa kepada masyarakat luas.
Titus Tri Wibowo, anggota Gusdurian yang hadir, menambahkan, “Klenteng TITD Hwie Ing Kiong bukan hanya tempat ibadah, tetapi simbol keberagaman. Memahami budaya dan sejarah orang lain mempermudah membangun persaudaraan. Saya bangga menjadi bagian dari kegiatan yang memperkuat semangat kebhinekaan ini.”
Selain room tour, acara ini juga dimanfaatkan untuk merekam konten video spesial Imlek yang akan ditayangkan di kanal NU TV Madiun pada perayaan Imlek mendatang. Fileski Tanjung Walidha turut mempersembahkan empat puisi yang ia ciptakan khusus untuk masyarakat Tionghoa, sebagai ungkapan persaudaraan dan penghormatan terhadap tradisi. Fileski menjelaskan, “Puisi adalah jembatan rasa. Semoga karya ini menjadi hadiah sederhana yang menyentuh hati dan menguatkan persatuan.” Puisi-puisi tersebut bertemakan lampion, meja, langit, dan angpao, merefleksikan semangat persatuan dan keberagaman.
Peserta juga diinformasikan mengenai latihan barongsai yang rutin diadakan setiap Rabu, Jumat, dan Minggu pukul 16.00 hingga menjelang magrib, sebagai upaya melestarikan seni tradisi Tionghoa bagi generasi muda.
Kegiatan ini berhasil mempererat hubungan antarumat beragama dan mengingatkan pentingnya menjaga budaya sebagai identitas bersama. Gusdurian Madiun, dengan semangat pluralismenya, membuktikan bahwa keberagaman bukan penghalang, melainkan kekuatan untuk hidup berdampingan secara damai.
Puisi-puisi Karya Fileski Tanjung Walidha:
Empat Puisi ini dibacakan di Klenteng Kota Madiun
1. Lampion
Di bawah langit jingga,
Lampion tergantung di garis malam
Seperti hati yang bergantung pada doa,
Di tengah badai yang mengintai
Kami adalah suara dalam kebisuan,
Yang bernyanyi di sela sunyi,
Nyanyian ini bukan untuk menguasai,
Hanya meminjam ruang kecil sebagai api.
Badai bertanya, "Mengapa kau menyala?"
Kami menjawab dengan pijar sederhana:
“Karena keberagaman adalah harmoni,
Cahaya kecil yang ingin menyapa.”
2025
2. Meja
Ada meja panjang di rentang perbedaan,
Di mana setiap mangkuk adalah harapan.
Duduk bersama, tanpa bertanya,
Dari mana datangnya nasi dan canda tawa.
Imlek adalah jalan setapak,
Di mana doa-doa bergandengan tangan.
Kami tak peduli dari langit mana hujan itu turun,
Selama bumi masih bisa basah,
Benih saling tumbuh di dada.
2025
3. Langit
Langit tak pernah menjadi milik satu warna,
Ia adalah pelukis yang tak bernama.
Biru, merah, kuning—menyatu dalam darah,
Seperti doa yang disisipkan pada merah.
Kami adalah jejak-jejak di atas awan,
Turun ke pantai, menjadi gelombang.
Imlek datang seperti ombak.
Perbedaan adalah nyanyian angin
Yang tak bisa dibendung
Oleh sekat yang terkotak-kotak.
2025
4. Angpao
Jika dunia adalah angpao,
Apa yang akan kau isi di dalamnya?
Aku mengisinya dengan penghormatan,
Dengan senyum yang tak perlu diterjemahkan.
Di lorong-lorong kecil,
Kami membagikan mandarin sebagai tanda.
Di pintu-pintu kayu,
Kami menggantung harapan
Dalam doa berlapis emas.
Dan mereka yang lewat,
Membaca tanpa bertanya.
Karena cinta tak perlu bahasa,
Mengerti dengan hati yang terbuka.
2025
(*)