NARASINETWORK.COM - Madiun, Fileski Walidha Tanjung menggelar dakwah puisi di dua tempat berbeda dalam satu hari pada Minggu, 9 Maret 2025. Kegiatan ini menjadi bagian dari upayanya memaknai Ramadan dengan menyucikan jiwa melalui literasi.
Sesi pertama bertajuk Ngaji Puisi Religi, yang merupakan rangkaian acara Pekan Sinebar Ing Ramadan 2025. Acara ini berlangsung di Masjid Asy Syifa RSUD Dr. Soedono, Kota Madiun, mulai pukul 16.30 hingga tiba waktu berbuka puasa.
Dalam sesi ini, Fileski menekankan bahwa Ramadan adalah momentum untuk refleksi diri melalui sastra. “Ngaji puisi religi menjadi ruang refleksi, membaca dan menulis puisi sebagai ibadah yang membahagiakan. Sastra memperkuat kedalaman batin, menjadi jalan untuk mendekat pada Tuhan,” ujarnya. Ia juga mengajak para peserta untuk produktif berkarya di bulan penuh berkah dengan merangkai kata menjadi doa dan mengukir makna dalam setiap aksara.
Acara ini berlangsung dengan khidmat dan inspiratif. Fileski membacakan beberapa karya puisinya serta berbagi proses kreatif dalam menulis puisi. Para peserta yang hadir merasakan atmosfer mendalam yang menguatkan spiritualitas mereka. Acara ini dipandu oleh moderator Deny Agung Wijaya dan didukung oleh RSUD Dr. Soedono, Komunitas Open Madiun, dan RTIK Madiun.
Deny Agung Wijaya mengungkapkan kesannya terhadap acara ini, “Ngaji puisi religi membuka cakrawala baru tentang bagaimana sastra bisa menjadi medium dakwah yang efektif. Fileski dengan puisinya berhasil menyentuh hati para jamaah.”
Sementara itu, Yosep founder Open Madiun yang turut mendukung acara Ngaji Puisi Religi juga memberikan tanggapan positif. “Kami mendukung penuh kegiatan literasi yang menguatkan nilai-nilai spiritual seperti ini. Semoga kegiatan serupa terus berlanjut di masa mendatang,” ujarnya.
Jarwoto, salah seorang peserta, menyampaikan apresiasinya terhadap acara ini. “Acara ini sangat bagus, menggabungkan seni, literasi, dan spiritualitas dalam satu momen yang berharga,” ujarnya.
Setelah sholat tarawih, Fileski kembali melanjutkan dakwah puisinya dalam acara Ramadhan dalam Syair: Malam Seribu Cahaya di RRI Madiun. Acara ini merupakan segmen Ngobras (Ngobrol Bareng Komunitas) yang disiarkan langsung melalui channel YouTube RRI Madiun pada pukul 20.10 WIB.
Dalam sesi ini, Fileski mengajak pendengar untuk merenungi makna Ramadhan melalui syair-syair penuh makna. Acara yang dipandu oleh presenter Dwi Atmoko ini memberikan pengalaman mendalam bagi para pendengar.
Dwi Atmoko menyampaikan apresiasinya, “Malam ini, kita diajak menyelami keindahan Ramadan lewat syair yang begitu menyentuh. Fileski berhasil membawa suasana malam ini menjadi lebih bermakna.”
Dengan suksesnya dua sesi dakwah puisi dalam satu hari, Fileski sekali lagi membuktikan bahwa sastra bukan hanya sekadar seni, tetapi juga sarana dakwah yang mampu menyentuh jiwa dan menginspirasi banyak orang.
Beberapa puisi Fileski yang dibacakan di dua acara ini:
1. DALAM TUBUH SEMESTA
Aku adalah perut bumi yang merasakan kemarau,
menyimpan haus di sumur-sumur sunyi,
menunggu adzan pecah di ujung cakrawala,
seperti langit yang menahan hujan
demi menumbuhkan rindu di rimbunnya hutan.
Ramadhan datang seperti fajar yang bersujud,
melembutkan kerasnya batu-batu di kepalaku,
mengajarkan sungai menahan derasnya air,
karena nikmat itu baru terasa
saat ia ditahan,
saat ia dilepas sesuai takaran.
Rasa lapar ini bukanlah kemiskinan,
haus ini bukanlah penderitaan,
ia adalah syair yang ditulis cahaya
pada dinding-dinding tubuhku,
agar tahu betapa manisnya seteguk air,
agar tau betapa kayanya aku
kaya dalam kesederhanaan.
2025
2. PUISI DI MEJA MAKAN
Di meja makan, cahaya lampu bersinar begitu lembut,
membisikkan doa-doa yang belum selesai.
Di sana, sendok dan piring saling berbisik,
mereka tahu, betapa rindunya aku
pada kebersamaan yang sering kali terlewatkan
selama sebelas bulan lainnya.
Ayahku menghela nafasnya seperti angin di padang sahur,
Ibuku tersenyum seperti kurma yang siap dipetik.
Aku menatap hidangan sederhana itu di atas meja
dan menemukan betapa kayanya diriku
dalam secangkir teh manis,
dalam genggaman hangat canda tawa.
Maka bukan emas, bukan permata,
tapi tawa kecil di sela-sela kata,
adalah puisi yang jatuh dari langit
dan tersaji di atas meja sederhana.
2025
3. TARAWIH DI BAWAH MALAM
Langit membuka kitabnya di atas kepalaku,
ayat-ayat suci melantun sayu,
para malaikat mengayunkan tasbih di ufuk barat
dan aku berdiri menjemput kiblat.
Sajadah adalah sungai kecil
yang mengalirkan doa ke laut takdir,
setiap sujud adalah langkah kecil
menuju rumah yang lebih megah dari seisi dunia.
Aku bukan siapa-siapa,
hanya sebutir debu
di antara mereka yang menangis dalam sujud,
di sanalah, kebahagiaan menyusup
tanpa suara,
tanpa harga-harga
yang dipajang dalam gemerlap fatamorgana.
2025
4. BENIH-BENIH YANG BERPUASA
Lihatlah benih di dalam tanah,
ia tidak memaksa dirinya tumbuh,
ia menunggu, menahan,
ia percaya pada sang waktu.
Puasa adalah tanah yang mengajari benih
untuk merasakan lapar,
agar nanti ia tahu betapa manisnya hujan.
Kita adalah benih-benih kecil
yang ditanam di ladang takdir,
menunggu saatnya berbuka
untuk mekar di bawah lindungan cahayanya.
2025
5. PADA BAYANGANKU SENDIRI
“Apa kau tidak lapar?” tanyaku pada bayangan di dinding.
“Lapar,” jawabnya, “tapi aku bahagia.”
“Apa kau tidak haus?”
“Haus, tapi aku bahagia.”
Aku menatapnya,
ia tersenyum seperti bulan sabit di ufuk timur.
“Mengapa?” tanyaku.
“Karena aku belajar menahan diri,”
“Aku belajar bahwa bukan makanan yang menghidupkanku,
yang menghidupkanku adalah rinduku kepada-Nya.”
Lalu terdiam.
Di sudut kamar, gema adzan menyelinap dari celah jendela
aku menyadari, bahwa aku telah menang
mengalahkan musuh terbesar
ia adalah diriku sendiri.
2025
Puisi Fileski Walidha Tanjung :
1. Sepasang Mata Semesta
Bahagia bukanlah burung emas yang hinggap di bahu raja,
bahagia adalah sepasang mata ibu,
teduh menampung langit di dalamnya.
Ia mengalir dalam sendok yang mengetuk piring,
pada nasi yang mengepul seperti doa-doa.
Ia tidak pernah berjalan dengan sepatu berlian,
ia berjingkat dalam tawa bocah-bocah yang berlari,
dalam jejak kaki yang basah oleh embun,
di tanah yang diam-diam memeluk akar
dengan kasih yang tak terkatakan.
Bahagia bukan menara yang menjulang ke angkasa,
bahagia adalah gubuk kecil, di mana tangan hangat seorang ayah
mengusap kening anaknya dengan penuh kelembutan,
ketika malam dipeluk nyanyian sunyi,
dan fajar menyingkap hari,
seperti tirai yang dibuka dengan perlahan.
Aku telah mencari bahagia di kota-kota yang bersinar,
dalam segepok uang yang sesak dalam genggaman,
namun ia bersembunyi di balik hal-hal yang sering kali kita terlupa—
dalam segelas teh yang mengepulkan kenangan,
dalam sebuah pelukan yang bertahan lebih lama dari waktu,
dalam sepasang mata yang lebih dulu mengerti
sebelum kata-kata sempat terucapkan.
Baca Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News
- Editor :
- Erna Winarsih Wiyono
- Author :
- Tim Narasi Network
- Source :
- Liputan