Wawancara Tokoh : Ananda Sukarlan Musik untuk Semua dan Pendidikan Tanpa Batas

Selasa, 1 Apr 2025 06:00
    Bagikan  
Wawancara Tokoh : Ananda Sukarlan Musik untuk Semua dan Pendidikan Tanpa Batas
Ananda Sukarlan

Ananda Sukarlan: Musik untuk Semua, Pendidikan Tanpa Batas

NARASINETWORK.COM - Jakarta, Selain dianugerahi penghargaan tertinggi dari Kerajaan Spanyol “Real Orden de Isabel la Católica”, pianis dan komponis Ananda Sukarlan juga pernah dianugerahi gelar kesatriaan “Cavaliere Ordine della Stella d’Italia” oleh Presiden Italia Sergio Mattarella pada tahun 2020.

Selain itu, seniman Indonesia pertama yang diundang Portugal tepat setelah hubungan diplomatik Indonesia dan Portugal pada tahun 2000 ini juga telah dianugerahi banyak pengakuan swasta seperti Prix Nadia Boulanger dari Orleans, Perancis.

Ananda Sukarlan adalah salah satu dari 32 tokoh dalam buku “Heroes Amongst Us (Pahlawan di Antara Kita)”, yang ditulis oleh Dr. Amit Nagpal yang diterbitkan di India. Ananda juga masuk sebagai salah satu dari 100 “Asia’s Most Influential” atau “Orang Asia Paling Berpengaruh” di dunia seni tahun 2020 oleh Majalah Tatler Asia.

Ananda Sukarlan lulus dari SMA Kolese Kanisius di Jakarta pada tahun 1986 dan kemudian melanjutkan studi di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory of Music) di Den Haag, Belanda, di mana ia kemudian lulus dengan predikat Summa CumLaude.

Karya terbarunya akan diluncurkan bulan Maret ini oleh Warner Classics yaitu “The Springs of Vincent”, berdasarkan empat lukisan tentang musim semi Vincent Van Gogh, yang dibawakan oleh pemain flute Eduard Sanchez dan pianis Enrique Bagaria.

Ananda Sukarlan, komposer kenamaan Indonesia yang namanya telah berkibar di kancah internasional, telah menerima berbagai penghargaan bergengsi, termasuk penghargaan kesatriaan. Perjalanan bermusiknya yang luar biasa ini akan kita kupas tuntas dalam wawancara kali ini, mulai dari inspirasi di balik karyanya hingga komitmennya terhadap pendidikan musik inklusif.

1. Penghargaan Internasional dan Dedikasi terhadap Musik :

Mas Ananda, Anda telah menerima berbagai penghargaan bergengsi dari berbagai negara, termasuk penghargaan kesatriaan. Bagaimana penghargaan-penghargaan ini memotivasi Mas Ananda dalam berkarya dan berkontribusi di dunia musik, khususnya dalam konteks penyampaian keindahan dan kedamaian melalui musik?

J : Saya ini seniman, pekerja seni. Jadi berkarya itu tugas saya, untuk menghasilkan produk seni. Kalau saya dapat penghargaan, itu bonus saja, dan terus terang tidak lebih memotivasi saya untuk berkarya lebih. Buktinya sebelum dan sesudah dapat penghargaan, kuantitas dan kualitas karya seni saya sama saja. Saya berterimakasih tentu saja, dan bahagia bahwa (karya) saya diakui, tapi kegembiraannya sih sebetulnya terasa pada saat hari mendapatkan penghargaan tersebut.

Hari berikutnya ya seperti biasa, kerja lagi. Penghargaan yang lebih penting adalah dari para musikus yang memilih karya saya untuk mereka mainkan/nyanyikan, menjadikannya bahan untuk konser, penelitian studi atau repertoire kompetisi mereka. Juga dari penonton dan pendengar yang masih datang ke konser saya ataupun musikus yang memainkan karya saya, baik langsung maupun secara daring. Penghargaan kesatriaan dan lainnya itu semacam kristalisasi, validasi atau simbol saja.

2. Proyek Musik Rainha Boki Raja dan Interpretasi Budaya :

Proyek soundtrack film dokumenter Rainha Boki Raja menunjukkan minat Mas Ananda pada sejarah dan budaya Indonesia. Bisakah Mas Ananda menjelaskan proses kreatif di balik proyek ini, termasuk bagaimana Mas Ananda menginterpretasikan kisah Ratu Ternate abad ke-16 melalui musik? Apa tantangan dan kepuasan yang Mas Ananda rasakan dalam proyek ini?

J : Film dokumenter Rainha Boki Raja adalah hasil teamwork yang luar biasa, saya berterima kasih kepada produsernya Inda Citraninda Noerhadi, sutradara Fendi Siregar, narator Christine Hakim yang membaca narasi Linda Christanty dan seluruh tim yang semuanya super keren sehingga film ini bisa masuk nominasi Piala Citra.

Saya butuh satu motif sebagai benang merah di seluruh film itu. Saya memilih motif dari melodi Tanah Airku, lagu Ibu Soed ( Saridjah Niung). Soalnya ini bukan hanya soal Maluku, tapi kedatangan Portugis ke Nusantara. Juga saya menggunakan elemen musik Portugis dari abad 16. 

Semua karya saya itu berdasarkan motif, seperti molekul gitu yg terdiri dari rangkaian paling banyak 4 not. Ini berfungsi seperti Google Maps, atau konsep yang membimbing saya dan juga pendengar untuk tetap mengikuti alur musikal dengan segala kontras dan variasinya. Contoh paling ekstrim adalah Beethoven di Symphony no. 5 nya: motifnya adalah ritme 3 not pendek dan 1 not panjang. Sampai akhir, motif itu dieksploitasi habis-habisan.

3. Inspirasi dan Proses Kreatif :

Mas Ananda memiliki kebiasaan unik dalam menulis musik, yaitu pada malam hari. Bisakah Mas Ananda menjelaskan lebih detail tentang proses kreatif Mas Ananda, termasuk lingkungan dan suasana yang mendukung kreativitas Mas Ananda?

Bagaimana Mas Ananda mengelola inspirasi dan tantangan dalam proses tersebut?

J : Ahahaha ... malam hari itu terutama karena tidak ada WhatsApp atau telpon masuk sih. Juga tidak ada gangguan bahkan secara visual pun karena saya selalu bekerja menghadap jendela, di luar tidak ada pergerakan apa-apa. Saya bekerja setelah makan malam sampai sekitar jam 1-2 pagi, kemudian saya suka jalan kaki 10 menit sebelum akhirnya ke tempat tidur. 

Untuk karya yang berskala besar seperti Rapsodia Nusantara, atau lebih besar lagi seperti Bora Ring yang akan perdana 30 April ini, saya bekerja seperti arsitek. Strukturnya saya rancang dulu, dari situ saya kerjakan detailsnya dan tidak perlu dari depan ke belakang. Jadi framework nya harus jelas dulu, motif-motif sebagai materialnya juga jelas, jadi kapanpun saya bisa kerja tanpa tersesat walaupun mengerjakan sections yang lompat-lompat. Kalaupun di tengah pengerjaannya harus saya tinggalkan, saya bisa balik lagi tanpa kesulitan karena bentuk dan konsep keseluruhannya sudah jelas : mana kontrasnya, di mana klimaks dan antiklimaksnya, dsb. 

Kalau karya pendek seperti tembang puitik sih begitu saya baca puisinya, puisi itu yang melahirkan struktur, progresi harmoni dan melodinya serta warna keseluruhannya. Membuat Tembang Puitik biasanya kelar dalam kurang dari 1 jam, walaupun saya selalu inapkan sebelum hari berikutnya saya cek lagi dan revisi sedikit-sedikit. Ada beberapa tembang yang butuh lebih dari satu hari bikinnya, seperti puisi Fanny Jonathans Poyk tentang ayahnya Gerson Poyk, atau "Bibirku Bersujud di Bibirmu" karya Hasan Aspahani. Sedangkan Bora Ring ini butuh sekitar 3 minggu, walaupun konsepnya sudah dari beberapa bulan lalu. Ini juga karena orkestrasinya yang kompleks dan juga menggabungkan tradisi suku Aborigin dari Australia. Sebelum konsep dan arsitekturnya jelas, biasanya saya tidak memulai menulis satu not pun, walaupun dalam proses penyelesaiannya bisa saja ada konsep yang berubah sedikit.

Saya kira seniman itu tidak membutuhkan inspirasi. Kalaupun suasana tidak mendukung, ya tetap harus bekerja karena profesionalisme. Inspirasi paling kuat adalah deadline, karena buat saya, karya seni itu tidak pernah selesai. Pelukis dan visual artist berhenti menyempurnakan karyanya sudah harus memberikannya kepada galeri, begitu juga komponis berhenti dengan karyanya karena tanggal konsernya sudah tiba. Kualitas karya tergantung dua hal: ide awal yang brilian, dan dipepet oleh deadline. Tanpa deadline, saya jamin karya itu tidak pernah selesai.

4. YMSI dan Akses Pendidikan Musik Inklusif :

Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) dan program Children in Harmony menunjukkan komitmen Mas Ananda terhadap pendidikan musik inklusif. Bisakah Mas Ananda menjelaskan lebih detail tentang visi dan misi YMSI, serta dampak program Children in Harmony terhadap anak-anak kurang mampu? Apa tantangan terbesar yang Mas Ananda hadapi dalam menjalankan program ini?

Sekarang YMSI lebih fokus ke kompetisi Ananda Sukarlan Award (ASA), yang tadinya didirikan oleh Pia Alisjahbana (pendiri Femina Group) untuk semua instrumen musik dan vokal klasik. Soal pendidikan untuk difabel, saya jawab di point berikut ya. 

Sebetulnya ASA yang sekarang juga menggabungkan kompetisi Tembang Puitik Ananda Sukarlan yang dicetuskan oleh Amadeus Enterprise pimpinan Patrisna May Widuri di Surabaya sejak 2011. Sekarang semua di bawah satu payung. Vokalis yang menetas dari sini misalnya Mariska Setiawan, Isyana Sarasvati, Pepita Salim, Shelomita Amory, Alice Cahya Putri, Kadek Ari Ananda Putra, Nikodemus Lukas (yang lebih dikenal dengan Nick Lucas di dunia pop) dan masih banyak lagi.

Tapi kemudian saya mendirikan kompetisi saya sendiri, yang justru tidak menggunakan nama saya: Kompetisi Piano Nusantara Plus ( KPN+ ). Kata "plus" di sini menandakan bahwa ini bukan hanya untuk piano tapi untuk semua instrumen, termasuk vokal. Nah kategori tembang puitik ini menjadi favorit ke-dua di sini setelah piano, sama halnya juga di ASA. Tapi karena KPN+ ditujukan untuk pemusik yang lebih muda, syarat dan ketentuannya lebih ringan sehingga menarik lebih banyak peserta.

Tahun lalu saja ada 477 peserta, dan kami bermitra di 8 kota. Tahun ini lebih banyak kota lagi yang berminat ikutan, termasuk kota-kota yang belum "tersentuh" oleh musik klasik. Tahun lalu, pemenang kategori Tembang Puitik KPN+ antara lain soprano Ratnaganadi Paramita yang juga seorang neuroscientist lulusan Amerika, Fae Bernice Robin yang juga penyandang gelar Puteri Anak Indonesia Pendidikan 2023 dari Palembang yang juga pemenang termuda kami, serta bariton Wirawan Cuanda yang meraih Master dalam Vokal dari University of York, Inggris. 

Jadi para pemenang dari setiap kota itu berhak masuk grand final di Jakarta yang akan diadakan tanggal 13 & 14 Desember 2025. Jadwalnya yang sudah fix untuk babak semi final adalah : Padang 2-3 Agustus (sebagai bagian dari perayaan Ulang Tahun kota Padang ke-356), Medan 30-31 Agustus, Bandung 7 September, Bekasi 27-28 Sept, Tangerang 5 Oktober, Bandar Lampung 19 Okt, Palembang 1 November, Surabaya 23 Nov, Jogjakarta 29 Nov dan terakhir Jakarta 7 Desember.

Dan kami masih sedang dalam tahap mengkonfirmasi jadwal dengan beberapa kota lain, bahkan masih membuka kesempatan untuk para mitra regional yang baru untuk bergabung.

Sedangkan Ananda Sukarlan Award sudah berjalan, finalnya nanti di Jakarta 12 & 13 Juli. Bedanya, untuk babak semi final ASA itu para peserta harus merekam video dan mengunggahnya di Youtube. Jadi mereka bisa saja merekamnya di rumah, dan kalau tidak puas, ya rekam ulang lagi saja! Lengkapnya silakan lihat di anandasukarlanaward.com saja deh.

Banyak yang menawarkan menjadi mitra penyelenggara di berbagai kota. Juga banyak pianis muda yang menawarkan menjadi juri. Kami sangat berterimakasih juga atas dukungan Institut Francais d'Indonesie dan Australian Institute of Music yang memberi berbagai beasiswa untuk para pemenang, yang bisa dicek di website kami itu.

5. Rapsodia Nusantara dan Pemberdayaan Kaum Difabel :

Rapsodia Nusantara merupakan karya monumental yang juga menyoroti isu inklusivitas, khususnya bagi kaum difabel daksa. Bisakah Mas Ananda menjelaskan lebih detail tentang proses pengembangan Rapsodia Nusantara, khususnya nomor 15 dan 39 yang dirancang khusus untuk pemain dengan keterbatasan fisik? Bagaimana karya ini berkontribusi pada pemberdayaan kaum difabel?

Rapsodia Nusantara adalah karya-karya virtuosik untuk piano, terinspirasi dari Hungarian Rhapsodies-nya Franz Liszt yang telah saya mulai Dan kembangkan dari lagu-lagu tradisional Indonesia sejak 2006 dan hingga saat ini sudah berjumlah 43 nomor. 

Nah, sejak 2008 saya memulai membuat musik untuk anak-anak difabel di Spanyol, bekerjasama dengan Fundacion Musica Abierta. Saya telah menulis banyak musik piano untuk mereka yang tangannya hanya berfungsi satu, misalnya, atau hanya beberapa jarinya yang berfungsi. Keterbatasan kita tidak menentukan kemana kita bisa pergi; keterbatasan hanya menentukan dari mana kita memulai. Perjalanan mungkin lebih jauh daripada mereka yang lahir “lengkap”. Dari karya-karya yang secara teknis cukup mudah, saya berpikir, bagaimana kalau di antara anak-anak itu berkembang menjadi pianis professional? Mereka butuh karya yang substansial untuk konser mereka. Makanya saya coba untuk membuat Rapsodia yang cukup virtuosik. 

Semoga ada institusi yang memberdayakan disabilitas untuk memperoleh fasilitas dalam bermusik seperti apa yang sudah dilakukan oleh negara Spanyol tempat dimana saya cukup lama bermukim. Sudah ada ratusan partitur yang diciptakan untuk mereka dengan keterbatasan, apapun itu, oleh saya ataupun komponis terkemuka dunia seperti David del Puerto atau Santiago Lanchares. Kini ratusan partitur itu tersedia untuk digunakan.

6. Pandangan tentang Peran Seni dan Kebudayaan :  

Mas Ananda mendukung penuh UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Bisakah Mas Ananda menjelaskan pandangan Mas Ananda tentang peran seni dan kebudayaan dalam pembangunan bangsa, serta bagaimana karya-karya Mas Ananda berkontribusi pada pemajuan kebudayaan Indonesia di kancah internasional? Bagaimana Mas Ananda melihat adaptasi karya seni klasik ke dalam konteks kontemporer?

Seni adalah cara sublim untuk berekspresi, berkomunikasi dan akhirnya untuk diplomasi. 

Seni tak selalu tentang keindahan yang mudah dipahami, apalagi menghibur—kadang ia aneh, menghujam nurani, lebih membuat kita bertanya hal Hal Baru daripada menjawab masalah yang sudah ada, bahkan mengguncang logika. Tapi justru di situlah seni yang jujur, karena seni adalah metafora dari kenyataan, dan realitas itu tidak selalu indah, apalagi di Indonesia saat ini di mana begitu banyak masalah: PHK besar-besaran, perebutan tanah bahkan laut oleh para mafia, hukum yang dimainkan, korupsi, nepotisme, jalanan di Jakarta yang tambah macet karena dikuasai oleh para pejabat dikawal patwal yang arogan dan buas, serta banyak kezholiman lain. Mau tidak mau, karya seni yang tercipta di Indonesia 10 tahun terakhir akan lebih "dark" daripada yang dibikin misalnya di Eropa. 

Seni yang keluar dari batasan tradisional adalah ajakan untuk berpikir lebih bebas, menantang cara pandang, dan menemukan makna di luar yang kasat mata. Seni seperti ini melatih kita untuk lebih adaptif, kreatif, dan menghargai keragaman perspektif.  

Jadi, jika karya seni terasa ‘tidak biasa’, itu mungkin karena ia sedang berbicara pada bagian diri Anda yang belum pernah dijelajahi dan membantu kita untuk menemukan sesuatu yang tersembunyi yang kita sendiri belum pernah kenali.

Diplomasi melalui seni adalah bentuk ekspresi di mana sapuan kuas sebuah lukisan, nada-nada musik, atau baris-baris puisi melampaui tembok-tembok pembatas dan berbicara dalam bahasa universal. Seni menghindari kekakuan politik, menjalin konektivitas melalui respek dan toleransi, bukan negosiasi atau kompromi. Sebuah patung yang diresmikan di ibukota asing atau rombongan teater yang berkeliling negeri yang jauh dapat meredakan ketegangan, memicu rasa ingin tahu, dan mengingatkan kita tentang kemanusiaan kita bersama dengan cara-cara yang tidak pernah dapat dilakukan oleh perjanjian saja.

Seni tidak menuntut kesepakatan — seni menawarkan ruang di mana perbedaan dapat hidup berdampingan, dirayakan dalam harmoni sebuah akord atau kontras warna pada kanvas. Soft diplomacy ini mengubah kedutaan menjadi galeri dan panggung menjadi jembatan, menjalin benang-benang pemahaman melalui keanggunan kreativitas yang membawa kedamaian.

(*)



Baca Berita dan Artikel Menarik Lainnya di Google News

Berita Terbaru

Wawancara Tokoh : Ananda Sukarlan Musik untuk Semua dan Pendidikan Tanpa Batas
Idul Fitri: Lebih dari Sekedar Ketupat dan Opor, Makna Silaturahmi yang Mendalam
Wawancara Tokoh : "Beyond the Canvas: Wayan Jengki Sunarta on Art, Literature, and Literacy"
Wawancara Tokoh : Melepas Jangkar di Bulan Ramadan D. Zawawi Imron, Kisah, Kata, dan Inspirasi
Aliansi Masyarakat Bandung Raya Gelar Aksi Mendukung Pengesahan UU TNI 
Jaringan Aktivis Muda Lintas Organisasi Beri Dukungan Untuk Tempo
SKUAD Indemo Kecam Teror : Solidaritas untuk Jurnalis Perempuan Tempo Cica dan Tim Bocor Alus
Solidaritas Mengalir Pasca Teror Tempo: Ancaman terhadap Kebebasan Pers dan Keselamatan Jurnalis
BREAKING NEWS- AHY Resmi Tunjuk Herman Khaeron Jadi Sekjen Demokrat 2025-2030, Gantikan Teuku Riefky Harsya
Wawancara Tokoh : Melestarikan Tari Pagellu' Tua Toraja bersama Hesti Nona Pala'langan   
Hesti Nona Pala'langan: Melestarikan Gellu' Toraja, Tari Tradisional yang Menawan   
Islam Kontekstual : Sebuah Tafsir yang Menyegarkan dari Sofyan RH Zaid
"Apabila Guru Tergantikan AI : Akankah Kemanusiaan Tetap Bertahan."
Hari Puisi Sedunia 2025: Merayakan Bahasa, Kreativitas, dan Kekuatan Kata-kata sebagai Terapi Diri
Dongeng: Jembatan Menuju Literasi Dini di Era Digital
Antisipasi Lonjakan Arus Mudik Lebaran 2025, Herman Khaeron Dorong Inovasi Transportasi
UNUSIA Hadir di Pameran Prangko:  Menelusuri Sejarah dalam Sekeping Kartu Pos
Jakarta Storytelling Circle: Menggali Makna "Deep Water" dalam Perayaan #WorldStorytellingDay
Mengenang Wahyu Prasetya : Peringatan 7 Tahun Wafatnya Sang Penyair Malang   
Taman Ismail Marzuki Gelar Diskusi Sastra Buya Hamka,  Hadirkan Tokoh-tokoh Terkemuka