NARASINETWORK.COM - Madiun, Dalam semangat mempererat persaudaraan dan merawat keberagaman, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Madiun bersama GUSDURian Madiun serta kelompok lintas iman menggelar acara Bagi Takjil dan Buka Bersama pada Sabtu (15/03/2025). Kegiatan yang berlangsung di Basement GKJW Jemaat Madiun, Jl. Panglima Sudirman No. 13, Kota Madiun, ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dari beragam latar belakang agama dan organisasi.
Hadir dalam acara ini Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), BEM STAINU Madiun, IPNU-IPPNU, Jaringan Kebudayaan Madiun, serta masyarakat umum lainnya. Sejumlah tokoh masyarakat turut serta dalam kegiatan ini, di antaranya Pendeta Brahm Kharismatius, Yakobus Wasit, Fileski Walidha Tanjung, Titus Tri Wibowo, Agnes Adhani, Dian Widiyawati, Nugroho Budi Wibowo, dan Ulil Absor.
Acara ini bertujuan memupuk solidaritas dan kebersamaan antar umat beragama. Haris Saputra, Koordinator GUSDURian Madiun, menegaskan bahwa kegiatan ini rutin digelar setiap tahun di bulan Ramadan.
“Acara ini rutin diadakan setiap tahun. Harapannya, semoga semangat kebersamaan ini menular ke berbagai elemen masyarakat lainnya,” ujar Haris.
Meskipun hujan sempat mengguyur Kota Madiun, semangat para peserta tidak surut. Mereka tetap bersemangat membagikan ratusan paket takjil kepada para pengguna jalan di depan GKJW Madiun.
Pendeta GKJW Madiun, Brahm Kharismatius, menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi bukti bahwa kerukunan antar umat beragama bisa terus terjaga.
“Kami ingin menunjukkan bahwa di Madiun ini, kita hidup rukun dan damai. Harapannya, kebersamaan ini terus terjaga dan menjadi inspirasi bagi masyarakat luas,” ungkapnya.
Selain pembagian takjil dan buka puasa bersama, acara ini juga diisi dengan Sarasehan Kebangsaan, doa lintas iman, serta pembacaan puisi menjelang berbuka.
Sastrawan Fileski Walidha Tanjung membuka sarasehan dengan pembacaan puisi bertema toleransi dan harmoni dalam keberagaman, yang dikolaborasikan dengan gerak tari oleh Nugroho Budi Wibowo. Puisi karya Fileski yang lainnya juga dibacakan oleh Dian Widiyawati dan Viktoria Oso.
Suasana semakin hangat ketika peserta meneriakkan yel-yel persatuan:
"Ubur-ubur ikan lele — NKRI harga mati, lee!"
Gelak tawa dan sorak sorai memenuhi ruangan, menciptakan momen kebersamaan yang penuh keakraban.
Koordinator GUSDURian Madiun, Haris Saputra, menegaskan bahwa acara ini bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi juga menjadi simbol komitmen untuk membangun hubungan lintas agama yang lebih inklusif.
“Kita harus berani keluar dari zona nyaman dalam melihat hubungan antarumat beragama. Semoga ini menjadi pemicu semangat toleransi yang lebih luas di masa mendatang,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan pesan dari Gus Dur, bahwa umat Muslim tidak hanya meminta dihormati saat berpuasa, tetapi juga harus menghormati mereka yang tidak berpuasa.
“Acara ini adalah refleksi nyata bahwa keberagaman adalah anugerah. Melalui seni, kita bisa menyampaikan pesan toleransi dengan cara yang lebih mendalam dan menyentuh hati. Semoga kebersamaan ini menjadi inspirasi bagi banyak orang.” Ujar Fileski.
“Kegiatan seperti ini sangat penting untuk memperkuat solidaritas di tengah keberagaman. Kita membutuhkan lebih banyak ruang dialog dan kebersamaan seperti ini agar persatuan di masyarakat semakin kokoh.” Ujar Titus Tri Wibowo.
Dengan adanya acara ini, GKJW Madiun dan seluruh elemen yang terlibat berharap semangat kebersamaan terus tumbuh dan menjadi penguat toleransi di Kota Madiun.
“Semoga ini bukan sekadar acara tahunan, tapi menjadi gerakan yang menginspirasi banyak orang untuk terus menjaga harmoni dan persaudaraan lintas iman,” tutup Pendeta Brahm Kharismatius.
Melalui kegiatan ini, Madiun kembali menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang bisa menyatukan. Semangat persaudaraan dan kebersamaan akan terus berkobar, menebarkan cahaya toleransi bagi negeri.
Berikut beberapa puisi karya Fileski yang dibacakan di acara ini:
Sajadah dan Salib
Langit biru tanpa sekat-sekat
sajadah terhampar luas
dan salib menjulang tinggi ke atas
di antara cakrawala doa-doa
Angin bertanya: "Kemana arah doamu itu mengudara?"
Ia mengantarkan kepasrahan menuju kedamaian
Ia menyampaikan keikhlasan menuju
yang tanpa pilih kasih.
Jangan kau titipkan dingin pada angin,
sebab ia tak pernah kenal rumah,
ia hanya kenal perjalanan.
Seperti diriku dan dirimu
dua hati dengan kitab yang berbeda,
tapi doa kita
sama-sama menanam keteduhan.
Jika engkau adalah matahari,
jangan biarkan pepohonan meranggas
Jika engkau adalah gunung
maka jadilah bayang-bayang.
Karena tanpa bayang-bayang,
matahari hanya kesepian di puncak
kesombongan.
2025
Jendela dan Hujan
Hujan mengetuk jendelaku,
mengirim irama yang sama di hatimu.
Apakah hujan bertanya sebelum ia turun:
"Hai yang di bawahku, apa agamamu?"
kurasa hujan tak akan bertanya
seperti itu
Toleransi adalah tetes-tetes hujan,
ia datang dari langit yang sama,
membasahi bumi tanpa pilih nama
Sekalipun matahari
tak akan bisa menghadang derasnya
yang berjatuhan di taman-tamanmu.
Sebab tanpa tamanmu
lebah pun enggan bercumbu
dan bunga-bungaku
juga akan layu.
2025
Lilin di Rumah Besar (dibacakan Viktoria Oso)
Rumah besar ini,
dibangun dengan pilar-pilar
Satu lilin tak akan cukup memberikan terangnya
sekalipun engkau lilin yang sangat besar
tak akan mampu menyingkap
lorong-lorong gelap rumah ini.
Engkau datang membawa cahaya
meski dengan warna yang berbeda
Aku pun berpijar,
bukan berarti cahayaku lebih terang
dari cahayamu
Jadi biarkan jendela rumah ini terbuka,
biarkan sinar purnama itu masuk kedalamnya
seperti toleransi yang menyala-nyala
di dada kita.
Kita adalah lilin-lilin kecil yang menyala
dan perlahan meleleh seperti waktu
pada ujungnya, apa yang tersisa selain gelap dan kesendirian?
Bukankah seribu lilin kecil yang berpijar,
yang tersebar, yang menjalar
lebih baik daripada satu lilin yang besar
yang menyala sendirian.
Sebab kebersamaan dalam pijar adalah rahmat
yang menjadikan rumah kita terasa hangat.
2025
Nafas yang Sama (dibacakan Dian Widiyawati)
Di pasar kecil di sudut kota,
aku mendengar azan dan lonceng gereja bersahut-sahutan
dari keduanya kudengar nafas
yang tak mengenal keangkuhan
yang tak mengenal kesombongan
Jangan kau tanyakan apa yang dihirup
oleh mayoritas
atau seberapa banyak udara yang
menjadi hak para minoritas
sebab tak ada yang bisa menggenggam udara, apalagi memilikinya
Bukankah nafas adalah pemberian-Nya
bernafas adalah
bermakna menghirup dan melepas
kita hidup untuk
belajar menerima dan melepas
tak mungkin kita bisa menghirup
tanpa melepas.
Jika ada yang lupa cara bernafas
sesungguhnya ia telah mati
meski detak detiknya masih berlari.
2025
(*)