NARASINETWORK.COM - Madiun, Di abad yang dipenuhi algoritma ini, pertanyaan tentang peran guru dalam lanskap pendidikan yang dikepung oleh kecerdasan buatan (AI) semakin mengemuka. Akan tergantikan kah guru oleh sistem yang dirancang untuk "mengetahui" segalanya? Atau justru AI hanyalah fatamorgana kecerdasan yang tidak bisa mengisi kekosongan paling esensial dalam diri manusia yakni kesadaran dan karakter?
Dalam Being and Time, Heidegger mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar "makhluk berpikir", tetapi "makhluk yang mengalami". Artinya, pembelajaran tidak hanya soal transfer informasi, tetapi juga transformasi makna. AI, dengan segala kecepatan pemrosesan datanya, mungkin mampu menghafal dan mengulang informasi lebih baik dari manusia, tetapi ia gagal memahami makna di balik pengalaman. Ia tidak bisa merasakan kehilangan, tidak memahami kebimbangan moral, dan tidak memiliki ketakutan eksistensial yang membentuk kedalaman karakter manusia.
Di sinilah letak batas tegas antara peran guru dan AI. Seorang guru sejati tidak hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai yang membentuk karakter siswa. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics mengajarkan bahwa karakter terbentuk dari kebiasaan, dan kebiasaan itu lahir dari tindakan yang berulang. Namun, tindakan itu sendiri tidak berdiri sendiri; ia berakar dari pikiran, yang pada gilirannya dibentuk oleh emosi dan pengalaman manusiawi yang kompleks.
Jika pendidikan hanya dipahami sebagai proses pengisian kepala dengan data, maka AI memang bisa menggantikan peran guru. Tapi jika pendidikan adalah pembentukan karakter, maka AI tidak akan pernah bisa mengambil alih peran seorang guru manusia. Karakter tidak terbentuk dari sekadar mengetahui, melainkan dari mengalami, merasakan, dan berinteraksi dengan sesama manusia. Robot bisa mengajarkan logika, tetapi tidak bisa mengajarkan empati.
Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap loncatan teknologi selalu membawa ketakutan akan tergantikannya peran manusia. Ketika mesin cetak ditemukan oleh Gutenberg pada abad ke-15, para cendekiawan khawatir bahwa buku akan menggantikan guru. Namun yang terjadi justru sebaliknya: buku menjadi alat yang memperkuat pendidikan, bukan menggantikannya.
AI pun harus dilihat dalam perspektif yang sama. Ia hanyalah alat bantu yang mempercepat akses terhadap informasi, bukan entitas yang bisa menggantikan kehangatan interaksi manusiawi. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus memperingatkan bahwa di masa depan, manusia mungkin akan kehilangan makna jika mereka menyerahkan terlalu banyak keputusan kepada algoritma. Maka, pertanyaannya bukanlah apakah AI akan menggantikan guru, melainkan apakah kita akan membiarkan AI mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan oleh manusia?
Namun, ada ancaman lain yang lebih besar dari sekadar kecerdasan buatan: yakni erosi karakter manusia itu sendiri. Dunia pendidikan hari ini menghadapi tantangan yang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan sekadar munculnya AI yaitu degradasi kesadaran.
Jika kita mengikuti logika Aristoteles tentang bagaimana karakter terbentuk, kita akan melihat bahwa segalanya berawal dari perasaan. Perasaan membentuk pikiran, pikiran membentuk ucapan, ucapan membentuk tindakan, tindakan membentuk kebiasaan, dan kebiasaan akhirnya membentuk karakter. Jika sistem pendidikan gagal membangun kesadaran emosional yang sehat sejak dini, maka generasi yang tumbuh tidak hanya akan kehilangan karakter, tetapi juga arah moral.
Di titik ini, AI bahkan bukan musuh yang paling berbahaya. Musuh terbesar adalah lingkungan yang membentuk generasi tanpa empati, tanpa kebijaksanaan, dan tanpa kedalaman makna. Jika sejak awal emosi seseorang telah rusak akibat lingkungan yang toksik, maka AI tidak perlu menggantikan manusia karena manusia itu sendiri sudah kehilangan maknanya sebagai manusia.
Di masa depan, mungkin saja ilmu pengetahuan berkembang hingga manusia mampu melakukan regenerasi sel secara tak terbatas, mencapai bentuk keabadian biologis yang pernah diimpikan para filsuf dan ilmuwan. Namun, seperti yang diingatkan Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning, hidup bukan hanya soal bertahan, tetapi juga soal menemukan makna.
Jika keabadian dicapai tanpa kedalaman spiritual dan kesadaran emosional, maka manusia akan memasuki era yang lebih mengerikan dari sekadar ketidakberartian—yaitu era penderitaan tanpa akhir. Keabadian tanpa makna adalah hukuman, bukan hadiah.
Nietzsche pernah berkata bahwa manusia modern terancam oleh nihilisme, sebuah kondisi di mana semua makna menjadi hampa. Jika kecerdasan buatan berkembang tanpa keseimbangan dengan kecerdasan emosional dan spiritual, maka manusia akan menghadapi tragedi eksistensial yang lebih besar dibandingkan sekadar kehilangan pekerjaan. Kita akan kehilangan jiwa kita sendiri.
Sehingga, pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukanlah apakah AI akan menggantikan guru, melainkan apakah kita masih memiliki guru yang mampu membentuk karakter di tengah krisis makna ini.
Jika kecerdasan buatan hanya sekadar alat, dan jika pendidikan sejati adalah pembentukan karakter, maka pertanyaan yang lebih mendasar adalah: pendidikan seperti apa yang sedang kita bangun? Apakah kita masih memiliki guru-guru yang berperan sebagai penjaga kesadaran, ataukah mereka telah terjebak dalam sistem yang hanya mengejar efisiensi dan angka?
Di zaman yang menjadikan teknologi sebagai pusat dari segala sesuatu, mungkin kita perlu bertanya ulang: apakah kita masih mendidik manusia untuk menjadi lebih manusiawi, ataukah kita justru sedang melatih mereka agar berpikir seperti mesin? Jika AI adalah masa depan, maka seharusnya kita bertanya, bukan apakah AI akan menggantikan kita, tetapi apakah kita masih memiliki sesuatu yang tidak bisa digantikan?
Kita tahu bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kapasitas untuk memberi makna. AI bisa memproses data, tetapi ia tidak bisa merenungkan arti dari penderitaan, tidak bisa memahami keindahan yang menggetarkan hati, dan tidak bisa menemukan makna dalam kesedihan maupun kebahagiaan. Jika pendidikan gagal membentuk kesadaran ini, maka permasalahannya bukanlah AI yang menggantikan guru, tetapi manusia yang kehilangan esensinya sendiri.
Maka, tantangan terbesar bagi kita bukanlah memastikan bahwa AI tetap menjadi alat, tetapi memastikan bahwa manusia tetap menjadi manusia. Sebab, jika di masa depan kita telah kehilangan karakter, kehilangan empati, kehilangan makna, maka kita tidak perlu AI untuk menggantikan guru karena kita telah kehilangan sosok guru.
Pada akhirnya, pendidikan bukanlah soal siapa yang mengajar, melainkan bagaimana kita mengajarkan generasi mendatang untuk memahami hakikat keberadaannya. Seperti yang dikatakan Rainer Maria Rilke, "The only journey is the one within."—perjalanan paling penting bukanlah menaklukkan dunia luar, tetapi memahami diri sendiri. Jika AI adalah alat yang kita ciptakan, maka pertanyaan terakhir yang harus kita ajukan adalah: apakah kita masih memiliki kesadaran untuk tetap menjadi pencipta, atau kita justru sedang menyerahkan diri kita kepada ciptaan kita sendiri.
(*)
Source : Fileski Walidha Tanjung adalah penulis esai, puisi, dan prosa yang karyanya telah banyak dimuat berbagai media nasional dan internasional.